Kamis, 10 Maret 2016

Membuat Lock Folder di Windows 7

Ternyata dengan win 7 kita bisa juga loh menyembunyikan suatu folder agar tidak diketahui oleh orang lain. Berikut cara nya membat hidden folder tanpa aplikasi.
  •  Buat folder yangkita inginkan pada Explorer.
  •   Buka Folder tersebut,lalu isikan dengan content file txt dengan notepad. Klik kanan folder ->pilih new lalu pilih text document.
  •  Copi paste kode dibawah ini kedalah text document :


Quote:
Quote: cls
@ECHO OFF
title Folder Private
if EXIST "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}" goto UNLOCK
if NOT EXIST Private goto MDLOCKER
:CONFIRM
echo Are you sure you want to lock the folder(Y/N)
set/p "cho=>"
if %cho%==Y goto LOCK
if %cho%==y goto LOCK
if %cho%==n goto END
if %cho%==N goto END
echo Invalid choice.
goto CONFIRM
:LOCK
ren Private "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}"
attrib +h +s "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}"
echo Folder locked
goto End
:UNLOCK
echo Enter password to unlock folder
set/p "pass=>"
if NOT %pass%== password here goto FAIL
attrib -h -s "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}"
ren "Control Panel.{21EC2020-3AEA-1069-A2DD-08002B30309D}" Private
echo Folder Unlocked successfully
goto End
:FAIL
echo Invalid password
goto end
:MDLOCKER
md Private
echo Private created successfully
goto End
:End

  •   Save dengan nama locker.bat. Sebelum di save pada baris if NOT %pass%== password here goto FAIL, Pada tulisan password here di ganti sesuai dengan password yang kita.
 
  • Nah setelah di save, akan terlihat ada 2 file, file batch locker dan folder Private, lalu cemplungin file dan doc yang ingin kamu sembunyikan di dalam folder Private.
  •  Finally tinggal double klik aja file locker, jika kamu ngelock atau hidden foldernya tinggal enter Y, tapi ingat pasword yang di tect doc yang telah kamu bikin tadi nya.

Gampang kan bro and sis,  Ternyata di dalam win 7 sudah ada fasilitas tesebut jadi kita gak perlu lagi aplikasi lain.






Minggu, 25 Oktober 2015

Starting Again

Setelah sekian lama akhirnya.......project untuk menghidupkan bolog ini kembali ......

Bismillah semoga konsisten



Kamis, 31 Desember 2009

Hijrah vs Menyerah!


Oleh KH. Rahmat Abdullah

Tak ada perjuangan seberat hijrah dan tak ada pengorbanan setulus hijrah. Siapa pun punya hak untuk mengajukan bukti, ada hijrah lain yang menandingi kesakralan hijrah atas nama Tuhan, asal jangan benturkan dia dengan jihad, karena keduanya memang tak bisa dipertentangkan. Yang satu lahir dari kandungan yang lain.

Jihad yang lahir dari jiwa hijrah masih memberi ’ruang’ bagi pembalasan, pelampiasan dan kemurkaan karena Allah. Sementara hijrah telah ’membiarkan’ orang-orang terhormat meninggalkan tanah air dan kecintaan mereka serta bersabar atas cibiran khalayak. Mereka lepaskan kecintaan kepada tanah air, pergi jauh dalam keterasingan. Tak dapat dinafikan nilai ’hijrah’ orang-orang Irlandia, Spanyol dan Eropa lainnya mendatangi benua baru, Amerika. Seperti juga yang mereka lakukan ke Australia. Tetapi siapa mau dibohongi tentang punahnya bangsa Indian, Maori dan Aborigin. Penderitaan mereka masih panjang dan masa depan mereka masih remang-remang.

Batu Ujian

Tidak usah menginterogasi orang Madinah atau keturunan mereka, apakah mereka menyesal telah membela, melayani dan mencintai saudara-saudara Muhajirin mereka. Berbinar wajah mereka menyambut peziarah ke Madinah yang bercahaya itu. Benarlah pesan Rasul SAW: “Di setiap rumah Anshar ada kebaikan.” Jadi, tidak ada yang mengherankan bila perang Fathu Makkah itu tanpa insiden mabuk kemenangan atau tumpahan dendam.

Derita hijrah adalah konsekuensi iman. Semua pedih sudah terbayar dengan keramahan, kecintaan dan pembelaaan saudara-saudara Anshar serta cinta Rasul yang teramat dalam.

Wahai ahli Thaibah, beruntung sangat Anda
Dapatkan dia yang saruwa alam tak berdaya, mendekat dan mengkhidmatinya.

Namun tentu saja luapan cinta ini tidak menafikan hak untuk beruntung dan berbahagia menjadi pengikutnya: Yang luput dari melihat al Mukhtar, Rasul pilihan, silakan melihat Sunnah yang besar dan Al Quran yang ia wariskan.

Silakan tanya apakah orang-orang Anshar akan mengajukan resolusi ke PBB atas hilangnya ’hak kepemimpinan’ Abdullah bin Ubay bin Salul yang asli Arab Madinah, kandidat pemimpin tertinggi Yatsrib dengan penampilan dan tutur kata yang menjadikannya pantas memimpin. Sayang, jiwa ringkihnya meleleh dalam gesekan yang tak disadarinya dan hasad kepada sang Nabi akhir zaman.

Atau Huyai bin Al-ahthab, Ka’b bin Al-asyraf dan Lubaid Al-asham sang penyihir, tokoh-tokoh Yahudi yang akhirnya kehilangan peluang emas lantaran tidak cerdas seperti saudara mereka Abdullah bin Salam yang menerima Risalah Cahaya ini dengan hatiyang bahagia.

“Wahjurhum Hajran Jamila”

Bila seorang muslim membaca Al-Quran, Allah memasang tabir (hijaban mastura), atau yang membatasi antara mereka dengan orang-orang kafir. Inilah penghijrahan ruhani yang menjadikan muslim punya base camp dan batas demarkasi di mana pun mereka berada. Bahkan, upaya intensif kaum kuffar untuk memalingkan masyarakat dari Alquran, dengan ucapan mereka: “Janganlah kalian dengarkan Alqur’an ini dan permainkan (sibukkan orang-orang dengan permainan agar melupakan) dia,” (QS. Fushilat: 26), dibalas Allah dengan perintah: “Sabarlah atas ucapan mereka dan menyingkirlah dari mereka dengan baik.” (QS. Al-Muzzammil 73:10). Alangkah jauhnya perbedaan ini. Mereka menghambat laju penyebaran Al Qu’ran dan la menghijrahkan ruhani kaum beriman agar dapat menikmati kelezatan hidup di bawah naungan A!-Quran (Qs. 17;45). Hijrah bukan melarikan diri, ia adalah langkah cerdas agar kebenaran tidak menjadi mangsa.

Inni Muhajirun Ila Rabbi” (Aku Berangkat Menuju Dia)

Kebodohan terhadap sunnatullah menye-babkan kaum Yahudi dan segelintir elite Madinah semacam Ibnu Salul menjadi begitu meradang saat kotanya dibanjiri Muhajirin. Betapa tidak cerdasnya mereka memahami gejala alam. Mereka lupa moyang mereka yang berevakuasi ke Madinah tahun 70 M, saat negeri mereka diserang dan akhirnya memimpin di Madinah?

Hijrah bukan hanya perpindahan dari wilayah ancaman ke wilayah aman. Ia adalah seleksi ’alami’ yang akan membuktikan kekuatan seorang atau sekelompok hamba Allah untuk menjadi pemimpin. Siapayang diam, dia takkan menjadi besar. Siapa yang menghalangi gerak, mereka akan terlindas. “Al harakah fiha barakah” (dalam gerak ada berkah). Para muhajir telah memulainya dengan benar, suatu perpindahan yang beranjak dari kesadaran dan bukan dari kemarahan.

Sadar bahwa iman itu punya nilai tinggi yang hanya dapat dibuktikan dengan pengorbanan. Jiwa dan semangat hijrah dengan dinamika, tantangan dan kepedihannya yang beragam mempunyai satu mata air dari telaga yang sama: “Inni Muhajirun lla Rabbi” (Aku Berangkat menuju Dia). Bukan kebetulan bila susunan bulan dalam perhitungan tahun Hijrah, diakhiri dengan bulan Haji dan dimulai dengan bulan Muharram, sebagai pembuka tarikh hijri.

Haji yang bagi sebagian kita berarti tamatnya Islam, jutru menjadi puncak bagi pendakian berikutnya. Sejak Al khalil Ibrahim ’as berangkat meninggalkan Harran ke Palestina sampai berangkat lagi ’menghijrahkan’ isteri dan putera sulungnya Ismail sampai hijrah Al kalim Musa as ke Madyan dan puncaknya hijrah Sang Penutup, Muhammad saw, menjadi munthalaq (milestone) keagungan syariah yang abadi ini. Inilah mozaik kejujuran, keikhlasan, kesabaran, pengorbanan, harapan dan kekuatan.

Ketika baru saja merasakan kebahagiaan mendapatkan putera pertama Ismail, ia diperintahkan untuk menghijrahkan sang bayi dan ibunya, jauh ke selatan. Ia hanya punya kata ’Siap’ (labbaik). Namun, ia juga seorang ayah dan seorang suami. Ia tak mampu menjawab pertanyaan isterinya yang terkejut ditinggalkan di lembah sunyi itu. Tanpa makanan tanpa minuman kecuali untuk hari itu di lembah yang belum ada apa-apa dan belum ada siapa-siapa.

“Mengapa engkau tinggalkan kami di sini?”

Tak ada jawaban.

Pertanyaan berulang. Tak ada jawaban.

Jawaban “Na’am”’(Ya) baru keluar setelah sang isteri yang sangat bertauhid ini mengajukan pertanyaan cerdas, “Apakah Allah yang menyuruhmu meninggalkan kami di sini?” Jawaban itu juga yang memantapkan isterinya, “Jadi (kalau itu kehendak Allah), maka tentu la takkan menyia-nyiakan kami.” (HR. Bukhari: Kitabul Anbiya).

Pewarisan

Hijrah ialah keutuhan harga diri. Sekeping tanah jauh di rantau, bersama kemerdekaan lebih berharga daripada tinggal di negeri sendiri dengan kehinaan: tak dapat mengekspresikan iman. Kecuali, bila jihad telah menjadi bahasa tunggal. Inilah terjemahan hakiki sifat Islam yang ’alamiyah (semestawi) tak tersekat oleh batas-batas sempit kesukuan dan kebangsaan, kecuali perjuangan kebangsaan bertujuan menyelamatkan dzawil qurba. Sedikit orang dapat memahami mengapa idealisme Hijrah itu menjurus-jurus ’nekad dan naif.

Siapa yang hina, mudah berbuat hina.
Bagi si mati, tak ada rasa sakit dalam luka.

Umat ini tak menjadi kecil atau hina karena tak punya pewarisan material dari sejarah mereka. Karena nilai-nilai mulia yang mereka miliki bukan hanya telah menjadi milik dunia, tetapi telah menghidupkan, menyambung dan membanqun peradaban.

Tarbawi Edisi 31 Th. 3/Muharram 1423 H/29 Maret 2002 halaman 22-23

Rabu, 07 Januari 2009

Bithanah Ad-Da'awiyah


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi bithanah dari orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya". (Q.S. Ali Imran: 118)

Amaliyatud Da'wah

Meski keramaian jihad siyasi akan rampung akan tetapi aktivitas dakwah tak akan pernah usai. Lantaran dakwah merupakan tuntutan sepanjang zaman untuk bisa mewujudkan misi ajaran Allah SWT. sehingga selalu bergulir dari satu kurun ke kurun yang lain dari satu generasi ke generasi lainnya. Mengajak umat manusia kepada kebajikan dengan menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran agar tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Amaliyah ini senantiasa ada selama masih berputarnya roda kehidupan.

Tabiat amal memang selalu muncul dan muncul tanpa pernah bisa dibendung. Waktu yang berjalan mengiringi jalannya amal. Bahkan keduanya saling lomba berdatangan. Kadang waktu mampu menyelesaikan sebuah amal. Namun tidak jarang pula amal datang tanpa bisa waktu menuntaskannya meski telah berlalu beberapa penggalannya. Malah sering kali amal itu lebih banyak dari waktu yang tersedia sehingga ia tidak bisa diselesaikan oleh satu kurun waktu atau satu generasi akan tetapi ia diselesaikan oleh kurun waktu yang lain atau generasi berikutnya.
Kedatangan amal yang tak kenal henti sudah menjadi tabiat alam semesta. Selama putaran alam ini tidak pernah berhenti maka selama itu pula putaran amal yang tak kan henti. Meski demikian bagi seorang kader dakwah putaran waktu yang seiring dengan putaran amal bukanlah sesuatu yang harus dihindari melainkan harus diantisipasi agar dapat mengikuti alur perjalanan waktu dan amal. Seorang ulama dakwah telah lama mengingatkan murid-muridnya dengan menyatakan 'fajri bihadzihil 'amal, tajri ma'aka, mengalirlah bersama amal-amal ini niscaya ia akan mengalirkan dirimu'. Karena itu catatan yang perlu kita tulis adalah jangan sampai mengabaikan kesempatan dan peluang yang telah diberikan kepada kita. Namun bila hal ini terabaikan maka nikmat kesempatan itu menjadi sia-sia. Rasulullah SAW. telah mengingatkan bahwa, 'ada dua kenikmatan yang sering dilupakan manusia yakni kesempatan dan kesehatan'. (HR. Muslim).

Tak dapat dipungkuri lagi bahwa hakikat seorang mukmin sejati adalah berbuat, berbuat dan terus berbuat. Sehingga seluruh waktunya selalu diukur dengan produktivitas amalnya. Karena itu diam tanpa amal menjadi aib bagi orang beriman. Mereka harus mencermati peluang-peluang untuk selalu berbuat. Maka perlu diingat bahwa 'ngangur' dapat menjadi pintu kehancuran. Tidaklah mengherankan bahwa banyak ayat maupun hadits yang memberikan motivasi dan rangsangan agar selalu berbuat dan menghindari diri dari sikap malas dan lemah untuk berbuat. Untuk itu Rasulullah SAW. menyegerakan para sahabat menlanjutkan agenda lainnya sebab bila tidak, yang terjadi adalah peluang konflik dan friksi antar sesama atau akan disibukan dengan hal-hal sepele.

'Pikiran tak dapat dibatasi, lisan tak dapat dibungkam, anggota tubuh tak dapat diam. Karena itu jika kamu tidak disibukan dengan hal-hal besar maka kamu akan disibukan dengan hal-hal kecil'. (Abdul Wahab Azzam).

Irama hidup orang yang beriman hendaknya selalu terus berada siklusnya yang mesti berputar maka sesudah menunaikan satu tugas ia harus menyiapkan diri untuk menunaikan tugas besar lainnya. Siklus demikian dapat menyehatkan diri dan amalnya karena ia mampu memanfaatkan waktunya untuk mengukir goresan indah.
"Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain". (Q.S. Al Insyirah: 7).
Bila perjalanan amal yang begitu panjang sering terjadi dalam kehidupan ini maka tidak ada pilihan lain kecuali mempersiapkan diri untuk mengarunginya. Salah satu penyiapan yang amat perlu dimiliki adalah sikap tidak pernah lelah dalam amal. Karena sikap lelah dan terus merasa lelah akan memperkecil potensi produktivitas dan akan menggerogoti energi untuk berbuat. Maka kita perlu mengantisipasi dan memerangi kelelahan kita. Bisa dengan recovery tarbiyah dengan mendisplinkan diri dalam menerapkan manhaj, rihlah, siyahah atau amal-amal tarbawi lainnya. Rasulullah SAW. pun menyuruhnya 'rehatkanlah hatimu karena hatimu tidak terbuat dari batu'.

Disamping amaliyatud dakwah tidak boleh henti, ia pun tidak boleh terbatas hanya pada satu kalangan. Sentuhan dakwah ini mesti menjangkau seluruh lapisan masyarakat luas karena sesungguhnya hak dakwah ini untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Karenanya amaliyatud dakwah ini harus menyentuh ke berbagai segmen. Dan ini wujud penerapan risalah terakhir yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. adalah untuk dapat menyebar luaskan dakwah ke seluruh lapisan manusia. Untuk itu semangat amaliyatud dakwah tidak boleh redup. Ia perlu dikobarkan pada sanubari seluruh kader.

Bithanah Ad-Da'awiyah

Bithanah dalam bahasa Arab berarti rangkapan baju dalaman. Seperti jas yang bagian dalamannya dilapisi kain tipis yang dikenal dengan sebutan puring. Dia tidak kelihatan, tapi cukup menentukan penampilan baju. Dengan pengertian itu, bithanah kemudian diusung ke dalam bahasa politik untuk menyebut mereka yang berada di belakang pemimpin atau penguasa. Sebagai pengokoh dalam menjalankan sebuah kekuasaan.
Kaisar, raja, atau presiden, biasanya mempunyai orang-orang dekat yang dipercaya. Mereka yang dekat dan dipercaya ini, ada yang, karena kapasitasnya, dipilih menjadi pembantu resmi, seperti menteri dan gubernur; ada yang, karena satu dan lain hal, justru tidak dimunculkan sebagai pembantu resminya. Yang terakhir ini--yang dimaksud bithanah--meski tidak tampak sebagai pembantu resmi, sering kali justru lebih berpengaruh dan menentukan. Mereka tidak tampak terutama pada saat sang penguasa bersangkutan berkuasa. Bahkan ada yang tetap tidak tampak dan tidak diketahui meskipun sang penguasa sudah tidak berkuasa lagi.

Memang kadang-kadang ada bithanah yang sekaligus juga pembantu resmi, atau semula merupakan orang-orang kepercayaan penguasa di belakang layar, kemudian diangkat menjadi pembantu resminya. Dalam sejarah kekuasaan, bithanah banyak memiliki peran kelangsungan dan kekokohan para penguasa. Sebagai contoh salah satunya Haman adalah bithanah kepercayaan Fir'aun yang sekaligus merupakan pembantu resminya.
Bila dikaitkan dengan dakwah maka bithanah da'awiyah merupakan bagian-bagian yang menjadi pengokoh dakwah agar senantiasa berdiri tegar. Adapun bithanah da'awiyah ini lebih kepada penguatan dakwah di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai persoalan yang melingkupinya. Hal ini menjadi sangat urgen bila melihat aspek penerapan sistem ajaran Islam yang lebih mengakar. Sedang bithanah da'awiyah yang dimaksud adalah:

1. At Ta'yidul Wal Muqabalah Mutanawi'ah (Dukungan dan Sambutan yang beragam)

Dukungan dan sambutan masyrakat terhadap dakwah mempengaruhi eksistensinya. Implikasinya adalah atensi mereka yang semakin besar pada dakwah dan dtindak lanjuti kesertaan mereka menjadi bagian dari dakwah ini. Dakwah dapat semakin eksis selama masyarakat yang beragam menjadi instrument dalam menjalankan roda dakwah ini. adapun indikasinya adalah bahwa masyarakat menerima seruan ajarannya ini dengan sikap ridha dan lapang. Bila kenyataan ini benar maka masyarakat merupakan potensi yang amat besar untuk memberikan pembelaan dan kontribusinya terhadap dakwah.
Sedang para kader menjadi simpul-simpul masyarakat yang beragam untuk dapat menggerakkan mereka. Dan diperlukan dalam jumlah yang besar dan merata. Sebab simpul-simpul itu harus berada didalamnya. Ini dapat memudahkan tadakhul da'awiyah padanya. Maka penyebaran kader harus merata di berbagai wilayah. Hal ini perlu mendapatkan perhatian agar bisa dievaluasi dengan seksama dan secermat mungkin untuk dapat mengantisipasi perkembangan dakwah.

Rasulullah SAW. senantiasa mengamati perkembangan dakwah Islam dengan pendekatan siapa-siapa yang sudah menerima Islam dan kabilah-kabilah mana saja yang sudah Islam. Metodelogi evaluasi melalui orang dan kabilah yang masuk Islam ini menunjkan bahwa sejauh mana dukungan masyarkat luas pada dakwah Islam. Bila dukungan masyrakat itu real dengan masuknya mereka pada Islam maka dakwah Islam dapat semakin kokoh dan kuat karena mendapat dukungan dari berbagai kekuatan dalam masyarakat. Tentunya dakwah ini memerlukan sejumlah besar orang-orang yang memperjuangkannya. Agar mereka menjadi tameng dan sekaligus sebagai ansharud da'wah dalam menghadapi serangan musuh-musuh dakwah. Karena itu Allah SWT. mengingatkan agar bisa menegakan dakwah ini bersama sejumlah besar pengikut-pengikutnya yang setia.

"Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar". (Q.S. Ali Imran: 146)

Karenanya dukungan dan sambutan masyarakat ini perlu dievaluasi dan ditingkatkan kapasitas dan kapabiltasnya lantaran ia sangat berpengaruh pada kelangsungan dan kekokohan dakwah ini. ia menjadi salah satu unsur bithanah terhadap dakwah.

2. Quwwatul Matanatid Dakhiliyah (Soliditas internal yang kuat)

Dakwah menjadi bangunan yang kuat manakala orang-orang yang berhimpun didalamnya solid dan saling membantu. Bagaikan bangunan megah yang terdiri dari satu material dengan material lainnya saling menguatkan. Tidak ada kerapuhan sedikitpun diantara komponen di dalamnya. Bila hal ini terjadi pada orang-orang yang berhimpun dengan dakwah sangat kuat, tidak ada pertikaian, iri, dengki, hasad, maupun bermusuhan. Maka bangunan dakwah menjadi bangunan yang indah dan kuat tidak akan goyah oleh goncangan apapun. "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh". (Q.S. As Shaff: 4)
Rasulullah SAW. amat perhatian pada soliditas internal yang terjadi di kalangan para sahabat. Beliau selalu memberikan arahan ketika dilihatnya ada benih-benih yang dapat memporakporandakan kesatuan dan kesolidan kaum muslimin. Beliau pun akan menyegerakan mereka untuk melakukan berbagai amaliyat menghindari sisi kerapuhan interaksi social mereka. Sangat banyak taujihat nabawiyah pada masalah ini sampai-sampai di akhir hayatnya beliau mengingatkan agar jangan saling hasad, dengki, iri, dan bermusuhan karena sesungguhnya kaum muslimin merupakan bersaudara bagaikan satu tubuh.
Memang sangat mungkin sekali gesekan antar individu dalam amal jihad siyasi kemarin terjadi. Dan ini dapat menimbulkan luka di hati. Ada yang kesal dengan ikhwah karena dianggap kurang peduli memberikan kontribusi pada jihad siyasi yang lalu. Ada pula yang merasa memiliki kewenangan sehingga seakan-akan mendominasi kepentingan pada alur struktural dan penggalangan ikhwah. Yang berakibat pada ketidak sukaan akan gaya dan style 'ikhwah' tersebut. Oleh sebab itu perlulah mentadaburi taujihat rabbaniyah ini agar terhindar dari hal-hal yang dapat berakibat buruk pada soliditas internal.

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk". (Q.S. Ali Imran: 103)

3. At Thaqah Wal Miharul Muta'ammiqah (Kemampuan dan keahlian yang mumpuni)

Untuk dapat mengemban amanah dakwah yang besar maka tidak bisa dielekan lagi bahwa kemampuan dan keahlian menjadi satu hal yang harus diperhatikan. Bahkan kemampuan dan keahlian yang dimiliki para kader dakwah harus pada tingkatan mumpuni di berbagai bidang. Karena urusan yang diamanahkan kepadanya semakin besar. Sudah barang tentu kualitas ekspert dan skillnya yang perlu dikembangkan agar mampu menunaikan tugas besar tersebut. Sebab bila ini tidak terpenuhi amat mungkin amanah itu terabaikan pelaksanaannya. Sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah SAW. bahwa bila satu urusan diberikan pada orang yang tidak mumpuni maka tunggulah saat kehancurannya.
Pada masa pemerintahan Umar ibnul Khaththab RA. kemampuan dan keahlian para sahabat mulai beragam dan tersebar ke berbagai bidang. Hal ini tentu berkaitan dengan tugas kepemimpinan yang teramat berat yang dipikulnya. Umat Islam yang beragam kultur dan budayanya serta wilayah cakupannya yang amat luas merambah daerah sekitar jazirah. Sehingga skill dan ekspert yang mereka miliki harus menyentuh pada persoalan yang dinamis terjadi saat itu. Dan ini sangat terkait dengan bangunan dakwah dan penyebar luasannya. Para sahabat ada yang ahli dalam bidang budaya dan kultur suatu masyarakat. Sehingga mempermudah bagi yang lainnya untuk mengenal tabiat dan tradisi masyarakat setempat. Dan hal ini sangat bermanfaat untuk memulai penetrasi dakwahh didalamnya. Ada pula yang ahli dalam komunikasi lantaran ia sudah bisa berdialog dengan beberapa bahasa setempat. Ada pula yang ahli dalam bidang pemerintahan sehingga bermunculan berbagai kelembagaan yang membantu pelaksanaan pemerintahan suatu daerah.

Amatlah tepat apa yang difirmankan Allah SWT. "Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya". (Q.S. Al Isra': 84). Agar seluruh kader dakwah ini dapat mempermulus perjalanan dakwah dan kekokohannya. Dan sekali lagi ini berpulang pada kemampuan dan keahlian kader-kadernya.

4. Tarqiyatu Qudrah Lit Tashadum (Meningkatnya kemampuan untuk berbenturan)
Bila diibaratkan dengan pohon maka semakin tinggi suatu pohon yang menjulang semakin banyak angin yang menggoyang. Hanya pohon yang berdiri tegak dengan akar yang menghunjam saja yang mampu bertahan akan terpaan angin tersebut. Sekalipun angin itu berupa badai yang ganas. Kalaupun terjadi goyang hanya meruntuhan ranting-ranting kecil atau dahan-dahan yang rapuh. Kalau hal ini dikaitkan dengan dakwah maka semakin tegaknya bangunan dakwah semakin banyak ujian yang dating pada dakwah ini. Baik ujian yang menyenangkan atau ujian yang menyusahkan. Oleh karena itu dakwah ini berikut kader-kadernya perlu membentengi diri dengan kemampuan untuk bisa menghadapi benturan-benturan. Apalagi benturan dakwah merupakan sesuatu yang lumrah sebagai sunnah dakwah yang terjadi pada semua zaman. Bila kemampuan tersebut dipahami dengan baik paling tidak bisa menghadapinya dengan kesiapan psykologis yang memadai.

Sebagaimana kita pahami bahwa sesudah terjadinya Badar, kaum muslimin semakin menyiapkan diri untuk menghadapi upaya musuh menekan dakwah. Kesiapan yang cukup dapat menggetarkan siapa saja yang akan memusuhi dakwah ini. Karenanya Allah SWT. ingatkan akan kesiapan untuk menghadapi benturan yang bakal terjadi. Sekalipun tabiat dasarnya seorang mukmin adalah tidak mencari-cari musuh akan tetapi bila sudah berhadapan maka tidak boleh lari darinya.
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)". (Q.S. Al Anfal: 60).

5. Taqwiyatu Al Jawwi at Tarbawiyah (Menguatnya iklim tarbiyah)
Bithanah Dakwah ini yang juga patut diperhitungkan adalah penguatan iklim tarbiyah. Iklim yang menajamkan pada kekuatan spiritual dalam melaksanakan aktivitas harianpada sanubari setiap kadernya. Sehingga kekuatan maknawiyah kader selalu dalam stamina yang prima. Agar para kader dakwah mempunyai bekalan yang cukup untuk mengembangkan jaringan dakwah dan terus memperjuangkannya. Menguatnya iklim tarbawi berupa penanaman sikap komitmen pada Islam dapat melahirkan sikap militansi yang kuat. Hal ini juga berhubungan erat dengan optimalisasi pelaksanaan tarbiyah bagi para kader. Juga dengan penerapan dan disiplin terhadap manhaj tarbiyah.

Karena iklim tarbiyah ini menjadi bithanah dakwah maka ta'shil tarbawiyah sesegera mungkin digelorakan kembali seperti pada waktu-waktu normal. Agar iklim tarbiyah ini lebih mewarnai aktivitas yang sedang berlangsung. Seorang ulama dakwah mengingatkan, al ams ad da'wah takhdumus siyasah. Wal an as siyasah la budda an takhdumad da'wah, kemarin dakwah memberikan pelayanan pada aktivitas perpolitikan sekarang ini politik harus memberikan pelayanannya untuk dakwah.

Kita tentu sangat mengerti bahwa unsur yang esensial dalam kehidupan orang yang beriman adalah kekuatan aspek spiritual. Karena hal ini menjadi salah satu pintu menuju kemenangan dakwah. Karenanya Allah SWT. perintahkan untuk mewujudkan suasana itu menjadi atmosfir yang amat dibutuhkan kader-kader dakwah. "Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan". (Q.S. Al Hajj: 77).

Ketika kekuatan dakwah ini mengakar pada lapisan umat manusia ia bisa menjadi bolduser masyarakat dalam mengarahkan mereka pada kebajikan yang dikenal dengan sebutan Wilayatul Hisbahatau kontrol sosial. Bila demikian maka seluruh komponen masyarakat memiliki kewenangan untuk memberikan kontrol terhadap dinamika kehidupan masyarakat luas. Baik yang berhubungan dengan urusan kemasyrakatan atau dalam pengelolaan Negara atau pemerintahan. Kewenangan kontrol sosial dapat berupa kewenangan Ar Ri'asah (kepemimpinan dan pelayanan). Artinya semua orang memiliki tangung jawab untuk mengarahkan kehidupan didalamnya terhadap kebajikan dan peduli pada hal-hal yang dapat membahayakan kehidupan sosial. Dan kewenangan ini memang berpusat pada penanggung jawab langsung yakni adalah pemerintah. Atau juga berupa kewenangan Ar Ri'ayah (penjagaan). Maksudnya adalah memberikan khidmah pada umat dan menjaga stabilitas kehidupan masyarakat. Sehingga masyarakat berada pada jalur kehidupan yang benar untuk meraih keberkahan yang telah dijanjikan Allah SWT. Hal tersebut sebagaimana yang diibaratkan Nabi SAW. bagaikan penumpang dalam bahtera. Bila ada penumpang yang akan melubangi bahteranya maka yang lain harus mencegahnya bila tidak, maka akan menenggelamkan seluruh penumpangnya. Wallahu 'alam bishshawab.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". (Q.S. Al 'Araf: 96).

Oleh: Tim STID DI AL-HIKMAH

Rabu, 26 November 2008

JUJR DENGAN DA'WAH


Oleh: DR. Attabiq Luthfi, MA

Ash-shidq (kejujuran) merupakan “Faridhah Diniyyah” satu kewajiban agama yang berlaku dalam semua bidang kehidupan dan dalam semua keadaan. Baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan berjamaah. Karena kejujuran menunjukkan keikhlasan seseorang yang tertinggi dalam beramal. Bahkan kekuatan suatu ucapan atau tindakan justru ditentukan oleh kejujurannya. Ketika orang-orang munafik mengatakan tentang Rasulullah dan secara lahir ucapan itu benar “Kami bersaksi bahwa engkau (Muhammad) adalah utusan Allah”, namun Allah tetap membantah dan mencap mereka sebagai para pendusta karena kebenaran ucapan mereka hanya sebatas di lisan, tidak disertai dengan kebenaran hati. “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”. (Al-Munafiqun: 1)
Demi keagungan sifat shidiq, Allah menyifati diri-Nya dengan sifat ini di dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Seperti dalam surah Ali Imran: 95, “Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.” Juga dalam surah An-Nisa: 122 “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?” Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (An-Nisa’: 87) dan surah Al-Ahzab: 22, “Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan”.

Beberapa Rasul-Nya juga dimuliakan dan dihiasi dengan sifat ini dalam dakwah mereka, seperti dalam surah Yasin: 53 Allah menjamin kebenaran dan kejujuran para Rasul dalam menyampaikan risalah-Nya, “Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(-Nya)”. dan Maryam: 54. “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” Bahkan sifat ini merupakan sifat dasar para pengemban dakwah. Terutama Rasulullah saw selaku uswah dalam semua sifat-sifat yang baik. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau sudah dikenal di tengah-tengah masyarakatnya dengan gelar “Ash-shadiqul Amin”. Sangat jelas kepemimpinan dalam dakwah sangat menuntut keteladanan dalam kejujuran dan kebenaran dalam aktivitas dakwahnya.
Begitu besar nilai shidiq dalam kehidupan seseorang. Tentunya bagi seorang dai. Bahkan jika seseorang mampu komitmen dengan sifat ini dalam apa jua keadaan dan tidak pernah meninggalkannya, maka ia akan meraih gelar shiddiq. Dan kedudukan orang-orang shiddiqin adalah di bawah kedudukan para nabi. “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (An-Nisa’: 69)

Diriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik sepakat untuk melontarkan tuduhan keji kepada Rasulullah, tiba-tiba salah seorang yang dikenal sangat memusuhi Rasulullah yaitu An-Nadhr bin Al-Harits malah berbicara dengan lantang di hadapan mereka karena kebenaran dan kejujuran Rasulullah yang tidak bisa disangsikan lagi dan sudah menjadi buah bibir orang banyak. “Muhammad adalah seorang yang masih beliau percaya di antara kalian. Ia seorang yang paling benar ucapannya, paling besar sifat amanahnya. Jika ia dikenal demikian, apakah kalian tetap akan menuduhnya sebagai tukang sihir? Tidak, sungguh ia bukan tukang sihir”. Ternyata kejujuran justru bisa menjadi pelindung dari rekayasa dan upaya musuh menghasut kita, secara internal maupun eksternal. Sebaliknya, jika kejujuran atas komitmen dengan dakwah ini berkurang, maka akan mempermudah masuknya rekayasa eksternal atau timbulnya ekses internal yang berdampak kepada menghambat perkembangan dakwah, karena beberapa energi akan dialokasikan untuk membenahi kejujuran secara internal.

Selanjutnya Al-Qur’an menetapkan bahwa sifat shidiq adalah cermin dan sifat dasar orang-orang pilihan dari hamba-hamba-Nya yang shaleh, taat dan lurus, padahal keshalehan, ketaatan dan kelurusan merupakan bagian yang dituntut dalam menegakkan dakwah. Allah menggambarkan sifat orang-orang pilihan-Nya dalam surah Az-Zumar: 33 “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. Juga dalam surah Al-Hasyr ayat 8 yang menggambarkan kemuliaan orang-orang Muhajirin, “dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

Allah sendiri memerintahkan orang-orang yang beriman agar senantiasa bersikap shidiq setelah perintah-Nya agar mereka bertaqwa. Sehingga kesempurnaan ketakwaan seseorang harus senantiasa diiringi dengan kejujuran dan kebenaran. “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119). Sesungguhnya dalam ayat ini terdapat dua perintah sekaligus, yaitu agar orang-orang beriman senantiasa bersifat shidiq, juga senantiasa berada dalam barisan bersama orang-orang yang shadiq.
Bahkan dalam rangka melakukan konsolidasi dan penguatan barisan aktivis dakwah, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar senantiasa mencari dan mengawasi para pengikutnya, sampai benar-benar ia mengetahui orang-orang yang shadiq di antara mereka demi memelihara kemuliaan mereka dan mengetahui orang-orang yang dusta untuk mewaspadai gerak-gerik mereka. Allah menegaskan dalam firman-Nya, “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (At-Taubah: 43)
Terkait dengan ayat ini, Ibnul Qayyim menjelaskan dengan rinci keutamaan sifat shidiq di dalam kitabnya Madarijus Salikin, bahwa dengan sifat ini akan dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang benar beriman. Sifat inilah yang menjadi ruh amal perbuatan. Oleh karena itu kedudukannya di bawah kedudukan kenabian yang merupakan kedudukan manusia tertinggi di atas muka bumi ini”.
Selanjutnya Ibnul Qayyim menjelaskan dengan lebih rinci bahwa sifat ini sebagaimana dianjurkan dalam perkataan, juga dalam perbuatan dan keadaan. Shidiq dalam perkataan artinya lurusnya lisan dengan ucapan seperti lurusnya ranting di atas dahan. Shidiq dalam perbuatan adalah tegaknya perbuatan sesuai dengan tuntunan perintah seperti tegaknya kepala di atas tubuh seseorang. Dan shidiq dalam keadaan adalah tegaknya amalan-amalan hati dan anggota badan atas dasar ikhlas, kesungguhan dan pengerahan kemampuan yang maksimal.

Demikianlah beragam bentuk kejujuran yang harus dimiliki oleh setiap aktivis dakwah. Dan kejujuran yang paling tinggi adalah kejujuran di dalam memegang sumpah setia dan menunaikan janji dengan dakwah hingga titik darah penghabisan. Seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya yang menunjukkan hanya sebagian aktivis dakwah yang mampu berbuat demikian. “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)”. (Al-Ahzab: 23)
Contoh dari kejujuran dalam Al-Wafa’ bil Ahdi bisa ditemukan pada pribadi Anas bin An-Nadhr. Ia telah merealisasikan kejujurannya dalam berjanji dengan Allah untuk tetap teguh dalam dakwah hingga meraih syahadah. Ternyata ia ditemukan syahid dengan kondisi tubuh yang penuh dengan luka. Demikian juga kejujuran yang ditunjukkan oleh Mush’ab bin Umair yang jujur dengan komitmen dakwahnya hingga ia syahid dalam dakwah.
Dalam konteks ini, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab bahwa Rasulullah saw bersabda, “Para syuhada itu terbagi empat golongan. Pertama di tingkat yang paling tinggi adalah seorang mukmin yang baik imannya. Ia bertemu musuh lantas ia menunjukkan kebenaran dengan janjinya hingga terbunuh. Kedua seseorang yang baik imannya namun begitu takut bertemu musuh, namun kemudian ia terkena anak panah yang nyasar dan meninggal. Ketiga seorang mukmin yang bercampur amal baiknya dengan amal buruk, namun kemudian ia bertemu musuh dan membenarkan janjinya hingga meninggal. Keempat seorang mukmin yang banyak melakukan maksiat, namun kemudian ia bertemu musuh dan terbunuh”.

Dakwah ini akan bisa memberikan kebaikan dan keberkahan manakala dikemudikan dan
disertai oleh mereka yang berpegang teguh dengan sifat ini. Betapa dalam urusan jual beli, Rasulullah menyatakan bahwa keberkahan hanya akan diraih jika kedua belah pihak mengedepankan sifat ini. Namun keberkahan itu akan dicabut manakala keduanya atau salah seorang dari mereka tidak peduli lagi dengan kejujuran. “Kedua pihak (penjual dan pembeli) berhak untuk menentukan pilihan selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya maka jual beli mereka akan mendapatkan keberkahan. Namun manakala keduanya berbohong dan menyembunyikan kebenaran, maka keberkahan itu akan dicabut kembali”. (Al-Hadits)
Memang bukan hal yang mudah untuk bisa jujur dalam segala urusan dan dalam semua keadaan. Untuk itu, Nabi Ibrahim, seorang nabi yang shaleh masih tetap dengan penuh tawadhu’ memohon kepada Allah agar senantiasa tutur katanya dijaga oleh Allah sehingga menjadi contoh yang baik bagi generasi kemudian. Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. (Asy-Syu’ara’: 83-84)

Agar bisa dan terbiasa jujur dengan orang lain, perlu diawali dengan jujur terhadap diri sendiri. Terutama jujur dengan kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt. Tentu bisa komitmen dengan sifat ini dalam dakwah membutuhkan motivasi yang tinggi, tekad yang bulat serta keyakinan yang teguh. Diibaratkan oleh Ibnul Qayyim bahwa membawa sifat ini dalam kehidupan seperti mengangkat gunung yang tinggi. Tidak akan ada yang mampu mengangkatnya melainkan orang-orang yang kuat kemauan dan niatnya. Karena kejujuran yang sesungguhnya adalah kejujuran yang ditampilkan saat tidak ada yang bisa menyelamatkan nyawa kita kecuali dengan berbohong.
Sebagai motivasi, perlu untuk senantiasa diingat balasan yang tinggi bagi orang-orang yang bisa jujur, “Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap-Nya[457]. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119). Dan sebaliknya akibat dan hukuman yang akan dikenakan terhadap orang-orang yang dusta dalam hidupnya. Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (Az-Zumar: 60) betapa kita mendambakan tampilkan aktivis dakwah yang bias berpegang komit dengan kejujuran dan kebenaran dalam segala situasi dan kondisi apapun, sehingga dakwah ini akan lebih memberikan kebaikan dan keberkahan bagi umat Islam. Sudah saatnya memang kita merefleksi sejauhmana tingkat kejujuran kita dengan dakwah ini. Wallahu A’lam.